Setiap kali berbicara tentang cinta, umumnya manusia selalu menyelaraskannya dengan sejumlah konsep idealisme yang kompleks seperti Jodoh Di Tangan Tuhan, Cinta Sejati, Saling Melengkapi, Cinta Itu Mengalahkan Segalanya, Cinta Indah Pada Waktunya, Cinta Tidak Harus Memiliki, dsb. Akibatnya kita tidak dapat mengamati proses bercinta dari konteks yang realistis: yakni sebuah interaksi sosial belaka……
Sebagaimana interaksi sosial lainnya yang dilakukan sehari-hari –seperti berdagang, belajar, bekerja, berolahraga- ada sejumlah pola dinamika tertentu yang wajib diikuti bila seseorang ingin menemui kesuksesan dalam kehidupan cintanya. Pola dinamika tersebut jarang sekali disentuh, atau bahkan diakui, karena beresiko merendahkan konsep tentang cinta. Pola dinamika sosial yang sebenarnya bisa dibedah, dipelajari, dan disusun-ulang dalam bentuk langkah-langkah yang praktis.
Pada dasarnya, proses percintaan selalu erat dengan berbagai permainan dan ‘manipulasi’ sosial yang sampai saat ini masih terasa asing karena jarang dibicarakan secara terbuka. Jika seseorang menutup mata akan hal-hal tersebut, menolak memainkannya, atau tidak melatih diri sebaik mungkin untuk memenuhi syarat permainan, maka sesuai dengan slogan Survival of The Fittest oleh Charles Darwin, ia akan tersisih dari potensi romansa yang seharusnya dia dapatkan.
Semakin kita melihat Romansa sebagai sesuatu yang bersifat ilahi, ajaib, mistis, supranatural semakin pria-wanita akan tersandung, atau minimal mengalami kesulitan, dalam memuaskan kebutuhannya akan percintaan. Cinta sudah menjadi tren linguistik yang terlalu mitos, ikonik dan berlebih-lebihan diluar proporsi sehingga, sekalipun perkembangan ilmu dan teknologi jaman modern sudah sangat melajut pesat, pemahaman manusia tentang hal tersebut tidak lebih jauh daripada apa yang sudah diketahui oleh para manusia abad renaisans dahulu.
Kita memerlukan penelitian yang komprehensif tentang apa yang dinamakan Cinta, tentang bagaimana rasa ketertarikan muncul, bagaimana meningkatkannya, tentang proses bio-kimiawi yang terjadi, tentang unsur-unsur lain yang semakin mengikat atau semakin melemahkannya. Kita memerlukan buku manual yang tidak lagi berisi tentang metafor melankolis ataupun kisah-kisah pembangkit semangat, melainkan tentang hal-hal spesifik yang perlu dilakukan, dihindari, dan dimodifikasi dalam permainan cinta. Dengan kata lain, Cinta adalah sebuah sistem dan saat ini kita, manusia modern, sangat memerlukan buku panduannya.
Kedua, mempercayai penggambaran hubungan cinta yang diinformasikan oleh media budaya populer seperti buku, film dan lagu.
Hampir segala sesuatu yang kita ketahui tentang cinta berakar dari apa yang kita baca, dengar, dan lihat dari berbagai jenis media massa yang beredar di sekeliling kita. Namun sedikit sekali konsumen yang memiliki cukup kesadaran, wawasan, dan pengalaman untuk bisa membedakan antara realita-dan-ilusi, kenyataan-dan-impian, fakta-dan-bumbu dalam setiap konten yang ditayangkan oleh para media tersebut.
Seorang ahli teori komunikasi berkebangsaan Kanada, Marshall McLuhan, menyebutkan bahwa “All media exist to invest our lives with artificial perceptions and arbitrary values.”
Contoh persepsi artifisial yang seringkali tertancap dalam pikiran kita adalah bahwa, “cinta membutuhkan pengorbanan,” yang mendorong pria-wanita berpikir bahwa rasa sakit yang kita alami berarti kita sedang jatuh cinta. Atau begitu banyaknya informasi yang menyatakan bahwa seorang wanita diwajibkan bersikap pasif dan menunggu pernyataan minat seorang pria. Atau tentang pria yang wajib berenang dari satu pulau ke pulau lainnya, bersusah payah melakukan sesuatu demi melunakkan hati sang wanita idamannya.
Digambarkan bahwa pria dan wanita yang bersikap mengikuti informasi seperti itu akan berakhir dengan kisah cinta yang memuaskan. Tentu ide yang disampaikan dalam informasi-informasi tersebut sangat nyaman, indah dan enak didengar. Dalam kisah buku, film dan lagu tersebut, sang pria atau wanita yang menderita biasanya berakhir dengan kebahagiaan. Sayangnya, realita lebih sering berkata sebaliknya.
Tidak terhitung berapa banyak hubungan pria-wanita yang harus terhempas kandas hanya karena mereka mengikuti persis gaya-gaya romansa dari tayangan televisi dan industri perfilman dunia.
Mereka dibuai untuk lupa berpikir dan terbiasa menduplikasi ide-ide indah yang disenandungkan dalam lirik lagu-lagu romantimania. Mereka lupa bahwa tidak peduli seberapa sering buku atau film itu menyandang kalimat based on true story, ia tetap sebuah produk bisnis dunia hiburan yang wajib menuruti prinsip emas, ‘Berikan orang apa yang mereka ingin dengar dan lihat.’
Apa yang kita saksikan tentang Cinta dan Romansa dalam media hanyalah replika buih-buih mimpi tentang apa yang seharusnya terjadi dan apa yang kita harapkan terjadi , bukan tentang apa yang sebenarnya terjadi. Mengutip ucapan Mark Twain, “In the real world, the right thing never happens in the right place and the right time. It is the job of media, scriptwriters, journalists and historians to make it appear that it has.”
0 komentar:
Posting Komentar
Loe comment disini